Tuk tik tuk tik tuk tik..
Suara dentingan jarum jam
yang menderu memenuhi pikiranku. Entah apa yang aku pikirkan saat ini. Aku
hanya terus menatap setumpuk soal-soal latihan UNAS ini. Tak ada satupun yang
dapat kukerjakan. Aku bingung aku harus memulai dari mana. Hanya udara hampa,
asap dari lampu minyak di depan meja reot yang biasa kugunakan untuk belajar.
Hari semakin larut.
Nyamuk-nyamuk mulai berkeliaran untuk mengenyangkan peut mereka masing-masing. Mataku
mulai seakan ingin menutup dan mulai juga seringnya menguap yang kulakukan.
“aku ngantukkkkkkk.....”
kataku sambil menguap.
Tapi kembali kusadari aku
masih belum dapat mengerjakan satu soalpun.
“uhh.. aku ini bodoh atau
bodoh banget sih? Dari 40 soal dan dengan waktu 3 jam aja aku Cuma ngerjakan 2
soal. Dan itu salah semua pula. Uhh...” keluhku sambil memegang kepala.
“andai aku bisa jadi
kayak Ranita. Udah pinter, cantik, selalu peringkat satu, banyak yang ngefans,
kaya juga. Duhh kesannya dunia cuma milik
Ranita lah pokoknya. Tapi faktanya aku ga bisa kayak Ranita hahaha” bayangku.
Aku mulai menaikkan
bendera putih terhadap soal-soal latihan UNAS ini. Aku mulai menutup semua
soal-soal dan memasukkan pensil kedalam tasku dan kubereskan meja reot ini
hehe. Aku mulai berdiri dan menguap untuk kesekian kalinya. Aku benar-benar
mengantuk saat ini.
“loh udah selesai dek
belajarnya? kok cepet banget ya dek. Udah berapa nomor yang bisa kamu kerjakan
tadi dari soal-soal itu?” tanya ibu sambil terbatuk-batuk yang mengagetkanku.
Ku hiraukan saja kata-kata
ibu. Tak kujawab sepatah kata pun. Aku berlalu dan kumasuk kedalam kamar
kemudian kututup pintu kamar. Eh iya lupa kamarku kan ga ada pintunnya, hanya
tertutup dengan selembar kain kumel yang disampirkan dipintu kamarku. Maklumlah
kan rumah “mewah’ alias mepet sawah. Tapi aku tetap bersyukur dengan semua
keadaan ini.
Segera aku menuju tempat
tidurku, tiba-tiba terdengar suara lembut yang merenyuhkan hati ini yang
“galau” ini.
“dek, jangan lupa doa
dulu sebelum tidur. Jangan lupa buat bersyukur buat segala berkat yang Tuhan
kasih sama kita sepanjang hari ini. Oh ya jangan lupa doa juga buat minta masa
depan yang cerah dan bahagia” kata ibu dengan lembut.
“okey, beres
bu...”balasku.
Sebenarnya aku sudah
ngantuk to the maks lah ini intinya. Tapi apa daya aku harus berdoa hehehe. Dalam
doa kupanjatkan sujud dan syukurku atas semua berkat ini, segala isi hatiku dan
segalanya yang ada dalam benakku dengan segala permasalahanku kuserahkan semua
ini. Dengan tidak sengaja sesuatu turun dari mata ini; yaitu air mata.
Terlintas dalam doaku kusebut nama seseorang yang sangat berjasa dalam hidupku,
yang menjadi semangatku selama ini; ibu. Aku bersungguh-sungguh dalam doaku
ini. Dan kemudian kuakhiri dengan membaca Doa Bapa Kami.
Setelah kuberdoa aku
segera tidur dan kemudian kututupkan mata...........
Pagi telah tiba, matahari
tampak masih bersembunyi, namun sudah terdengar suara yang bersautan dari
kelompok paduan suara ayam jago di Kampung Kelinci. Ya memang aku tinggal
dikampung kelinci yang terkenal kumuh, kotor, dan banyak orang yang kampungan.
Eitsss, tapi jangan salah aku bangga bisa tinggal disini karena semua warga
disini saling bahu-membahu dan saling peduli. Daripada tinggal di perumahan
mewah tapi ga kenal sama tetangga kiri-kanannya. Aduhh sama aja kan itu hehe.
Segera aku bangun dari
tempat tidurku dan aku berlutut berdoa untuk memanjatkan terima kasih kepada
Tuhan yang telah menjaga selama malam tadi dan meminta agar aku diberi
kemudahan untuk menjalani hari ini. Setelah kuberdoa aku segera bergegas
kekamar mandi. Sambil kuberjalan kusapa ibuku yang sedang sibuk menyiapkan
sarapan untuk keluarga sejahtera ini.
Teng teng teng...
Yayayaya sarapan sudah
dimulai. Ibu biasanya membunyikan sendok diatas piring. Itu menandakan sarapan
dimulai dan semua keluarga termasuk ayah, ibu, kakak, dan juga aku tentunya
harus sudah berkumpul dimeja makan dan memulai doa makan bersama. Setelah
sarapan aku berangkat kesekolah. Sebelumnya aku berpamitan dengan ayah dan ibu
kemudian aku berangkat dengan kakakku yang gantengnya selangit dengan
kacamatanya dan juga kerah tertutup beserta gigi tongosnya. Dia adalah kak
Doni.
Kami berdua berangkat
kesekolah dengan ditemani oleh sepeda tua yang dibeli dari pasar loak di depan
gang. Iya aku paham karena hanya itu kemampuan ayah untuk membelikan sepeda.
Tapi tak apa yang penting aku masih dapat pergi ke sekolah dan menimba ilmu dan
juga untuk bersosialisasi dengan teman-teman sebayaku ataupun juga dengan kakak
dan adik kelasku yang lainnya.
Di tengah jalan aku
melihat Renita yang sedang duduk santai didalam mobil Kijang hitam yang
mengkilat dan sepertiya itu mobil baru. Wahh aura kecantikannya memukau sekali.
Tapi aura itu seketika menghilang saat mulai kusapa dia. Dan kemudian dia
membalas sapaanku dengan nada jutek dan pura-pura tidak mengenalku karena aku
seperti pengemis dihadapannya. Menyebalkan dan sangat-sangat menyebalkan. Tapi
aku ingat akan kata-kata ibu bahwa kita tidak bisa membalas kejahatan dengan
kejahatan melainkan dengan kebaikan.
Dari sini aku bisa
belajar untuk mengampuni dan juga bersabar. Baiklah walaupun begitu aku tetap
tersenyum dihadapannya. Kemudian sesampainya disekolah aku masuk kekelas dan
kubertemu dengan teman sebangkuku yang juga sahabat terbaikku. Dyandra Anggoro
Putri anak seorang jendral kaya tapi penampilannya sederhana sekali. Aku tak
menyangka dari 898 siswa kaya disekolah (kecuali aku dan kakakku hehe karena
kami dari kalangan elit; ekonomi sulit hehehe) masih ada siswa yang low profile
dan sebaik dyandra. Dia tak pernah pilih-pilih teman. Itulah yang kusuka
darinya.
Dyandra memiliki ayah
seorang jendral kaya dan ibu seorang dokter spesialis. Jika dibandingkan
denganku ibarat bumi dengan langit. Ayahku seorang tukang jahit sepatu keliling
dan ibuku seorang tukang jahit, sungguh jauh berbeda. Justru dari perbedaan
inilah aku dapat mengambil kesimpulan bahwa aku bisa menjadi lebih dan lebih
dari orang tuaku dan mengangkat derajat mereka.
Iya memang aku
bercita-cita menjadi seorang spesialis. Dan kedua orang tuaku pun
menyetujuinya. Tapi aku tak memaksakan kehendakku untuk menjadi seorang dokter.
Tapi manusia yang berencana dan Tuhan yang berkehendak.
Banyak teman-temanku yang
menghina cita-citaku untuk menjadi seorang dokter. Berbagai ejekan yang
berusaha mematahkan sayap-sayap kecilku ini. Banyak halang rintangan yang
menerpa syap-sayap yang lemah ini. Mungkin tidak hanya teman-temanku,
guru-guruku juga demikian mereka berusaha menjatuhkanku. Hingga aku tak sanggup
lagi dengan semua ejekan-ejekan ini. Sepertinya seluruh sayapku telah berhasil
terpatahkan oleh mereka.
Akhirnya aku hanya
berserah dan berlutut kepada Tuhan. Sudah tak bisa kuungkapkan lagi dengan
semua kata-kata. Hanya tetesan air mata yang dapat kulontarkan kepadaNya. Aku
hanya berserah penuh. Seusai berdoa di kamar kak Doni datang menghampiriku dan
berkata
“sekalipun sayap-sayapmu
telah dipatahkan, tapi kamu masih bisa memperbaikinya dan menjadikannya lebih kuat tanpa sepengetahuan mereka yang telah mematahkannya”
Wahh kata-katanya
memancarkan aura ketulusan hatinya hehe. Hatiku sedikit terhibur dan menjadi
tenang. Baiklah aku akan menunjukkan kepada mereka semua teruta Renita yang
selama ini selalu menghinaku. Dan kutunjukan pada Dyandra bahwa dialah sahabat
terbaikku.
Jam semakin berputar,
hari berganti bulan, bulan beganti tahun, dan musim berganti. Hari dimana aku
nobatkan menjadi seorang “spesialis internis”. Oh Tuhan sungguh aku bersyukur
atas semua pencapaian cita-citaku ini. Orang yang pertama kali kupeluk adalah
ibuku dan kemudian ayah. Karena dari kegigihan mereka berdua inilah aku bisa
mencapai cita-citaku. Selain itu aku juga berterimakasih kepada Tuhan karena
telah mewujudkan impian kak Doni untuk menjadi seorang arsitek yang tampan dan
mapan yang juga diidamkan banyak wanita hehe.
Dari sini aku akan terus
menguatkan setiap sayap-sayapku yang dulu pernah dipatahkan dan
mengembangkannya semakin tinggi lagi.
“semakin
tinggi burung rajawali terbang, semakin lebar ia mengembangkan sayapnya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar