Senin, 14 Oktober 2013

Sayap-Sayap yang Patah



Tuk tik tuk tik tuk tik..

Suara dentingan jarum jam yang menderu memenuhi pikiranku. Entah apa yang aku pikirkan saat ini. Aku hanya terus menatap setumpuk soal-soal latihan UNAS ini. Tak ada satupun yang dapat kukerjakan. Aku bingung aku harus memulai dari mana. Hanya udara hampa, asap dari lampu minyak di depan meja reot yang biasa kugunakan untuk belajar.

Hari semakin larut. Nyamuk-nyamuk mulai berkeliaran untuk mengenyangkan peut mereka masing-masing. Mataku mulai seakan ingin menutup dan mulai juga seringnya menguap yang kulakukan.

“aku ngantukkkkkkk.....” kataku sambil menguap.

Tapi kembali kusadari aku masih belum dapat mengerjakan satu soalpun.

“uhh.. aku ini bodoh atau bodoh banget sih? Dari 40 soal dan dengan waktu 3 jam aja aku Cuma ngerjakan 2 soal. Dan itu salah semua pula. Uhh...” keluhku sambil memegang kepala.
“andai aku bisa jadi kayak Ranita. Udah pinter, cantik, selalu peringkat satu, banyak yang ngefans, kaya juga.  Duhh kesannya dunia cuma milik Ranita lah pokoknya. Tapi faktanya aku ga bisa kayak Ranita hahaha” bayangku.

Aku mulai menaikkan bendera putih terhadap soal-soal latihan UNAS ini. Aku mulai menutup semua soal-soal dan memasukkan pensil kedalam tasku dan kubereskan meja reot ini hehe. Aku mulai berdiri dan menguap untuk kesekian kalinya. Aku benar-benar mengantuk saat ini.

“loh udah selesai dek belajarnya? kok cepet banget ya dek. Udah berapa nomor yang bisa kamu kerjakan tadi dari soal-soal itu?” tanya ibu sambil terbatuk-batuk yang mengagetkanku.
Ku hiraukan saja kata-kata ibu. Tak kujawab sepatah kata pun. Aku berlalu dan kumasuk kedalam kamar kemudian kututup pintu kamar. Eh iya lupa kamarku kan ga ada pintunnya, hanya tertutup dengan selembar kain kumel yang disampirkan dipintu kamarku. Maklumlah kan rumah “mewah’ alias mepet sawah. Tapi aku tetap bersyukur dengan semua keadaan ini.
Segera aku menuju tempat tidurku, tiba-tiba terdengar suara lembut yang merenyuhkan hati ini yang “galau” ini.

“dek, jangan lupa doa dulu sebelum tidur. Jangan lupa buat bersyukur buat segala berkat yang Tuhan kasih sama kita sepanjang hari ini. Oh ya jangan lupa doa juga buat minta masa depan yang cerah dan bahagia” kata ibu dengan lembut.

“okey, beres bu...”balasku.

Sebenarnya aku sudah ngantuk to the maks lah ini intinya. Tapi apa daya aku harus berdoa hehehe. Dalam doa kupanjatkan sujud dan syukurku atas semua berkat ini, segala isi hatiku dan segalanya yang ada dalam benakku dengan segala permasalahanku kuserahkan semua ini. Dengan tidak sengaja sesuatu turun dari mata ini; yaitu air mata. Terlintas dalam doaku kusebut nama seseorang yang sangat berjasa dalam hidupku, yang menjadi semangatku selama ini; ibu. Aku bersungguh-sungguh dalam doaku ini. Dan kemudian kuakhiri dengan membaca Doa Bapa Kami.

Setelah kuberdoa aku segera tidur dan kemudian kututupkan mata...........

Pagi telah tiba, matahari tampak masih bersembunyi, namun sudah terdengar suara yang bersautan dari kelompok paduan suara ayam jago di Kampung Kelinci. Ya memang aku tinggal dikampung kelinci yang terkenal kumuh, kotor, dan banyak orang yang kampungan. Eitsss, tapi jangan salah aku bangga bisa tinggal disini karena semua warga disini saling bahu-membahu dan saling peduli. Daripada tinggal di perumahan mewah tapi ga kenal sama tetangga kiri-kanannya. Aduhh sama aja kan itu hehe.

Segera aku bangun dari tempat tidurku dan aku berlutut berdoa untuk memanjatkan terima kasih kepada Tuhan yang telah menjaga selama malam tadi dan meminta agar aku diberi kemudahan untuk menjalani hari ini. Setelah kuberdoa aku segera bergegas kekamar mandi. Sambil kuberjalan kusapa ibuku yang sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga sejahtera ini.

Teng teng teng...

Yayayaya sarapan sudah dimulai. Ibu biasanya membunyikan sendok diatas piring. Itu menandakan sarapan dimulai dan semua keluarga termasuk ayah, ibu, kakak, dan juga aku tentunya harus sudah berkumpul dimeja makan dan memulai doa makan bersama. Setelah sarapan aku berangkat kesekolah. Sebelumnya aku berpamitan dengan ayah dan ibu kemudian aku berangkat dengan kakakku yang gantengnya selangit dengan kacamatanya dan juga kerah tertutup beserta gigi tongosnya. Dia adalah kak Doni.

Kami berdua berangkat kesekolah dengan ditemani oleh sepeda tua yang dibeli dari pasar loak di depan gang. Iya aku paham karena hanya itu kemampuan ayah untuk membelikan sepeda. Tapi tak apa yang penting aku masih dapat pergi ke sekolah dan menimba ilmu dan juga untuk bersosialisasi dengan teman-teman sebayaku ataupun juga dengan kakak dan adik kelasku yang lainnya.

Di tengah jalan aku melihat Renita yang sedang duduk santai didalam mobil Kijang hitam yang mengkilat dan sepertiya itu mobil baru. Wahh aura kecantikannya memukau sekali. Tapi aura itu seketika menghilang saat mulai kusapa dia. Dan kemudian dia membalas sapaanku dengan nada jutek dan pura-pura tidak mengenalku karena aku seperti pengemis dihadapannya. Menyebalkan dan sangat-sangat menyebalkan. Tapi aku ingat akan kata-kata ibu bahwa kita tidak bisa membalas kejahatan dengan kejahatan melainkan dengan kebaikan.

Dari sini aku bisa belajar untuk mengampuni dan juga bersabar. Baiklah walaupun begitu aku tetap tersenyum dihadapannya. Kemudian sesampainya disekolah aku masuk kekelas dan kubertemu dengan teman sebangkuku yang juga sahabat terbaikku. Dyandra Anggoro Putri anak seorang jendral kaya tapi penampilannya sederhana sekali. Aku tak menyangka dari 898 siswa kaya disekolah (kecuali aku dan kakakku hehe karena kami dari kalangan elit; ekonomi sulit hehehe) masih ada siswa yang low profile dan sebaik dyandra. Dia tak pernah pilih-pilih teman. Itulah yang kusuka darinya.

Dyandra memiliki ayah seorang jendral kaya dan ibu seorang dokter spesialis. Jika dibandingkan denganku ibarat bumi dengan langit. Ayahku seorang tukang jahit sepatu keliling dan ibuku seorang tukang jahit, sungguh jauh berbeda. Justru dari perbedaan inilah aku dapat mengambil kesimpulan bahwa aku bisa menjadi lebih dan lebih dari orang tuaku dan mengangkat derajat mereka.

Iya memang aku bercita-cita menjadi seorang spesialis. Dan kedua orang tuaku pun menyetujuinya. Tapi aku tak memaksakan kehendakku untuk menjadi seorang dokter. Tapi manusia yang berencana dan Tuhan yang berkehendak.

Banyak teman-temanku yang menghina cita-citaku untuk menjadi seorang dokter. Berbagai ejekan yang berusaha mematahkan sayap-sayap kecilku ini. Banyak halang rintangan yang menerpa syap-sayap yang lemah ini. Mungkin tidak hanya teman-temanku, guru-guruku juga demikian mereka berusaha menjatuhkanku. Hingga aku tak sanggup lagi dengan semua ejekan-ejekan ini. Sepertinya seluruh sayapku telah berhasil terpatahkan oleh mereka.

Akhirnya aku hanya berserah dan berlutut kepada Tuhan. Sudah tak bisa kuungkapkan lagi dengan semua kata-kata. Hanya tetesan air mata yang dapat kulontarkan kepadaNya. Aku hanya berserah penuh. Seusai berdoa di kamar kak Doni datang menghampiriku dan berkata

“sekalipun sayap-sayapmu telah dipatahkan, tapi kamu masih bisa memperbaikinya dan menjadikannya lebih kuat tanpa sepengetahuan mereka yang telah mematahkannya”

Wahh kata-katanya memancarkan aura ketulusan hatinya hehe. Hatiku sedikit terhibur dan menjadi tenang. Baiklah aku akan menunjukkan kepada mereka semua teruta Renita yang selama ini selalu menghinaku. Dan kutunjukan pada Dyandra bahwa dialah sahabat terbaikku.

Jam semakin berputar, hari berganti bulan, bulan beganti tahun, dan musim berganti. Hari dimana aku nobatkan menjadi seorang “spesialis internis”. Oh Tuhan sungguh aku bersyukur atas semua pencapaian cita-citaku ini. Orang yang pertama kali kupeluk adalah ibuku dan kemudian ayah. Karena dari kegigihan mereka berdua inilah aku bisa mencapai cita-citaku. Selain itu aku juga berterimakasih kepada Tuhan karena telah mewujudkan impian kak Doni untuk menjadi seorang arsitek yang tampan dan mapan yang juga diidamkan banyak wanita hehe.

Dari sini aku akan terus menguatkan setiap sayap-sayapku yang dulu pernah dipatahkan dan mengembangkannya semakin tinggi lagi.


“semakin tinggi burung rajawali terbang, semakin lebar ia mengembangkan sayapnya”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar